Sabtu, 20 Agustus 2011

Ekofeminisme sebagai Perspektif Alternatif dalam Menjawab Isu Krisis Ekologi dan Ketidakadilan Gender


Pendahuluan
             Isu tentang lingkungan hidup dan ketidakadilan gender sebenarnya bukan isu baru di dunia internasional, namun isu yang dianggap “low politics” ini tenggelam dan kalah pamor dibanding isu “high politics” misalnya konflik dan perang, proliferasi nuklir, dan terrorisme internasional. Mengenai perhatian dunia internasional terhadap isu-isu bertemakan lingkungan bisa dilihat dari diadakannya UN Conference on the Human Environment/ UNHCE di Stockholm dan sekaligus didirikan United Nations Environment Programme/ UNEP) tahun 1972, Konferensi tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED/ United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro tahun 1992, disepakatinya Protokol Kyoto tahun 1997, diadakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg tahun 2002, serta United Nations Climate Change Conference di Copenhagen tahun 2009. Namun konferensi-konferensi internasional tersebut selalu terlambat diadakan setelah fenomena krisis ekologi sudah sedemikian parah, sedangkan aksi dari setiap negara (baik negara maju dan negara sedang berkembang) masih sangat minim. Selaras dengan kalimat bijak yang diucapkan Mohandas K. Gandhi, “there is a sufficiency in the world for man's need but not for man's greed, berbagai bencana akibat ulah manusia yang berskala besar pernah beberapa kali terjadi di berbagai belahan dunia. Contohnya; racun merkuri di perairan Minamata Jepang pada tahun 1959, tumpahnya minyak dari tanker Torrey Canyon ke laut di tahun 1967, kebocoran gas beracun pestisida dari Union Carbide di Bhopal India tahun 1984, bencana nuklir Chernobyl tahun 1986, hingga sekarang tentang menipisnya lapisan ozon dan terjadinya perubahan iklim yang drastis akibat efek Gas Rumah Kaca (GRK).
Sedangkan isu mengenai dominasi, marginalisasi dan sub-ordinasi terhadap perempuan telah disuarakan kaum feminis sejak kemunculan perspektif feminisme gelombang pertama (first wave) di tahun 1960an yang menuntut kesamaan secara politik, ekonomi dan sosial bagi perempuan. Namun, baru di akhir tahun 1980an, paradigma feminisme memasuki dunia hubungan internasional, tepatnya pada paska Perang Dingin, dimana dunia sudah tidak disibukkan lagi dengan konflik antara US dan Uni Soviet. Contoh kajian mengenai pemiskinan terhadap perempuan (feminization of poverty) adalah kajian di PBB dalam United Nations Human Development Report (2004)
“…on average, women work more than men do, when both paid employment and unpaid household tasks are accounted for. In rural areas of selected developing countries, women performed an average of 20% more work than men, or an additional 102 minutes per day.”

Bahkan statistik yang didapati di PBB yang dikutip Konferensi Internasional ke 21, Pan Pacific Southeast Asia Women’s Association pada Mei 2001 memperlihatkan hal-hal yang lebih spesifik lagi, “…in the world as a whole, women comprise 51% of the population, do 66% of the work, receive 10% of the income and own less than 1% of the property”.
Pemiskinan terhadap perempuan ini lebih banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang yang menganut program pembangunanisme dan modernisasi Barat. Lebih lanjut lagi, perempuan-perempuan yang berada di pedesaan dan berhubungan langsung dengan kerja-kerja di alam seperti pertanian, perkebunan, perhutanan, dll. Satu dari produk pembangunan adalah Revolusi Hijau dan Bioteknologi yang diperkenalkan melalui globalisasi lalu dicanangkan dan diadopsi oleh negara-negara sedang berkembang pada tahun 1990an sehingga sekarang. Semestinya sejak program-program ini digalakkan, tujuan dikampanyekan program-program ini ialah untuk mensejahterakan masyarakat dunia dan memperkecil kemiskinan untuk membentuk Tata Dunia yang Baru (a New World Order) setelah Perang Dingin usai. Namun ternyata program pembangunan ini membawa permasalahan yang masih dihadapi sehingga sekarang dengan semakin meluasnya pengadopsian paradigma neo-liberalisme bagi negara-negara sedang berkembang. Bagaimana dan mengapa konsep pembangunan yang berasal dari paradigma neo-liberal ini menyebabkan persoalan lingkungan dan juga persoalan ketidakadilan gender? perspektif ekofeminisme akan mengurai dan mencari jawabannya.

Ekofeminisme dan Gagasan-Gagasan Kritisnya
Ekofeminisme ialah pandangan yang mendasarkan dari dua pemikiran penting ekologi dan feminisme, oleh karena itu pandangan ini dikenal sebagai “the ecology of feminism and the feminism of ecology” yang menawarkan jalan keluar masalah kehidupan manusia dan alam (Shiva, 1997: xviii). Manakala ekologi berasal dari bahasa Yunani yang dipopulerkan oleh Ernst Haeckel seorang biologis jerman pada tahun 1860an, “oikos” yang berarti rumah-tempat tinggal semua makhluk hidup dan “logos” berarti ilmu. Ekologi tersebut mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, mengaitkan ilmu kemanusiaan dan ilmu alam dan melihat dunia secara integral-holistik. Sedangkan intisari dari feminisme sendiri adalah suatu pandangan atau pemikiran yang berangkat dari kesadaran dan kepedulian terhadap segala bentuk penindasan, ketidakadilan, diskriminasi dan marginalisasi pada perempuan. Sedangkan perbedaan dalam cara mengidentifikasi isu-isu perempuan tersebutlah yang kemudian memunculkan beragam aliran dan pendekatan dalam feminisme; Marxist, Sosialis, Liberal, Radikal, Post-Modernis (Macey, 2000: 122). Gerakan feminisme dan ekologis mempunyai hubungan yang berkaitan terutamanya ketika berhadapan dengan logika kapitalis-patriarkhi. Adalah ketika pola dominasi terhadap alam dan terhadap perempuan menimbulkan kehancuran ekologis karena praktek dari pembangunan yang buta gender dan tidak ramah terhadap lingkungan.
Istilah ekofeminisme sendiri muncul pertama kali pada tahun 1974 oleh seorang feminis Perancis Francoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou La Mort (Marks & Courtivron, 1981). Francoise berupaya menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan, akan potensi mereka untuk melakukan sebuah revolusi ekologis untuk menyelamatkan lingkungan hidup (Armstrong & Botzler, 1993). Ekofeminisme menggabungkan kritik ekologi dengan kritik gender, dan menujukan kritiknya kepada ilmu pengetahuan Barat yang berciri dualistik, cenderung didominasi teknologi dan buta gender. Para ekofeminis menyatakan bahwa dominasi atas alam adalah secara langsung berhubungan dengan faktor-faktor ekonomi, budaya, psikologi yang menciptakan hierarkhi, dan pada prakteknya menindas perempuan dan mengeksploitasi alam. Karakteristik dari ideologi-ideologi maskulin seperti misalnya; perang dan kekerasan, diskriminasi, pandangan etnosentrik, yang difasilitasi oleh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat dilihat oleh kaum ekofeminis menjadi ancaman besar atas kesinambungan alam dan lingkungan (Plumwood 1993).
Ekofeminisme secara lebih umum mengkritik reduksionisme.[1] Dalam buku “Bebas Dari Pembangunan; Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India” (1998), Vandana Shiva menyebutkan dua hal penting di antara berbagai manifestasi reduksionisme, yaitu Revolusi Hijau[2] dan Bioteknologi. Program yang berawal dari Amerika Serikat ini diperkenalkan ke Dunia Ketiga sebagai salah satu pelaksanaan teknis modernisasi. Revolusi Hijau bukan sekedar program pertanian, melainkan strategi perubahan melawan paradigma tradisionalisme dan menciptakan homogenisasi. Dalam buku ini Shiva menggambarkan bagaimana pengetahuan bertani yang dimiliki rakyat dan telah berusia 40 abad digantikan oleh program yang bertujuan untuk semata-mata keuntungan jangka pendek, seperti penciptaan benih unggul tahan hama, pupuk kimia dan pestisida beracun dalam pertanian. Pada era State Ied Development (kapitalisme negara) juga, sistem kapitalisme negara (developmentalisme) tersebut didasarkan pada teori ekonomi “Keynessian”[3] oleh John Maynard Keynes yang menghendaki peran negara dalam pertumbuhan kapitalisme. Teori ini menjadi model dominan secara global setelah dikembangkan menjadi teori pertumbuhan oleh WW. Rostow, yang akhirnya berhasil menjadi teori ekonomi dominan paska kolonialisme dan mendasarkan pada pembangunan infrastruktur dan industrialisasi melalui hutang dari lembaga donor dunia (World Bank, IMF), terbukanya investasi asing untuk mendukung pasar bebas melalui GATT, WTO dsb (Fakih, 2001).
Perubahan iklim akibat industrialisasi dan modernisasi pun dianggap oleh kaum ekofeminis adalah juga sangat merugikan perempuan. Sebab konsekwensinya pertama kali menimpa kepada perempuan-perempuan di sebagian besar negara-negara sedang berkembang yang berhubungan langsung dengan alam dalam lingkup lokal/ pedesaan, terutamanya adalah karena kerja produktifnya secara langsung berhubungan dengan alam; seperti usaha pertanian, perhutanan, perkebunan, perairan dsb. Selaras dengan hal ini, World Bank pernah menuliskan dalam kajiannya:
[women's] largely unrecorded role in agriculture explains the survival of many traditional subsistence communities on marginal lands….Traditional communities depend on women and girls to fetch fuelwood and water, and to produce and prepare food (World Bank 2003: 71).
Shiva (2007) juga menjelaskan bahwa kegiatan perempuan dalam proses menyediakan pangan perlu dipandang sebagai hubungan yang produktif dengan alam karena tidak hanya mengkonsumsi melainkan juga membuat tumbuh kembali. Perspektif gender di sektor kehutanan juga menggambarkan adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki terhadap beberapa hal antara lain; pemanfaatan sumberdaya alam, jenis pekerjaan, kredit dan teknologi, pendidikan, pengetahuan dan konservasi lingkungan, hukum, serta dalam representasi dan pembuatan keputusan (FAO 1993 dalam Rahayu, 2001).
Premis utama dari perspektif ekofeminisme adalah kritik sosial bahwa dominasi terhadap perempuan melalui sistem patriarkhi, dan dominasi terhadap alam melalui model pembangunan dari Barat adalah berhubungan. Seperti yang dinyatakan Judith Plant (1989: 5) The rape of the earth, in all its forms, becomes a metaphor for the rape of woman, in all its many guises.” Dalam Staying Alive (1989), Shiva menjelaskan peran dari ilmu pengetahuan yang disebut “development” namun kemudian Shiva menyebutnya “maldevelopment”. Shiva mengklaim bahwa dalam faktanya, alih-alih untuk mensejahterakan manusia, proses pembangunan yang dibangun dari logika kapitalisme malah merusak alam dan juga menindas kaum marginal. Kapitalisme yang komersial ialah berdasarkan dari produksi komoditi yang terspesialisasikan. Keseragaman dalam produksi dan penggunaan dari sumber daya alam adalah menjadi syaratnya. Sehingga tak diragukan lagi, eksploitasi alam atas nama keuntungan dan kepentingan perusahaan adalah niscaya adanya.
Sedangkan dalam buku Ecofeminism (2005) kritik Shiva lebih jelas lagi. Shiva menyatakan bahwa; pertama, pembangunan hanya dititikberatkan pada model kemajuan ekonomi industri Barat, dengan asumsi bahwa kemajuan model Barat itu bisa diterapkan semua negara. Kedua, pembangunan secara khusus dititikberatkan pada indikator-indikator finansial seperti GNP (Gross National Product). Ketiga, indikator-indikator tersebut seperti yang ditunjukkan GNP hanya menghitung aktivitas-aktivitas yang terjadi melalui mekanisme pasar, tidak peduli apakah produktif atau tidak produktif. Dan keempat, paradigma konvensional pembangunan menganggap bahwa kemiskinan hanyalah karena tidak adanya pola-pola konsumsi seperti yang terjadi di Barat atau tidak adanya modal yang cukup. Ekofeminisme juga menentang pandangan Barat yang bersifat atomistik, mekanistik, reduksionistis dan dualistik. (Sonny Keraf , 2002: 134)
Ekofeminisme juga mengkritik ilmu pengetahuan dan teknologi yang buta gender misalnya proyek rekayasa genetika dan teknologi reproduksi. Sedangkan Ester Boserup dalam bukunya Women’s Role in Economic Development (1970) mengungkapkan kritiknya terhadap teori dan praktek pembangunan, terutama asumsi yang menyatakan bahwa pembangunan akan membebaskan kaum perempuan. Boserup berpendapat bahwa dengan peningkatan teknologi dalam pertanian malah mengakibatkan rendahnya status perempuan karena ketiadaan akses terhadap kerja produktif. Dampak pembangunan juga berakibat memotong jaringan sistem dukungan tradisional terhadap perempuan, tertutupnya akses ke dalam sektor pekerjaan “modern” dibarengi dengan pelabelan negatif terhadap perempuan.
Sebenarnya, bukan ekofeminis yang pertama kali melakukan kritik atas ketidakadilan gender pada program pembangunan. Gerakan feminisme pernah merespons dan melakukan kritik terhadap teori pembangunan yang berkembang pesat sekitar tahun 1976. Latar belakang perkembangan teori perubahan sosial dan kritik terhadap pembangunan dari perspektif feminisme ini dicetuskan pada suatu konferensi tentang pengintegrasian kaum perempuan dalam perekonomian atau disebut konsep Women In Development (WID) yang diselenggarakan di Weseley College, Amerika Serikat. Setelah WID ternyata gagal untuk mengatasi kemiskinan dan peminggiran kaum perempuan, maka ide tentang perlunya analisis gender dimasukkan dalam berbagai program pembangunan pun menguat. Julia Mosse (2002) mempertajam perbedaan antara WID yang terfokus pada peran serta dan pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dan Gender and Development (GAD) yang mendasarkan pada analisis gender. Sehingga perlu dimasukkan perspektif gender dalam memformulasi kebijakan dalam program pembangunan (gender mainstraiming) dengan tentu saja, disertai gerakan sadar gender di masyarakat (Fakih, 2001: 169-177).

Jawaban Ekofeminisme Atas Isu-Isu Ekologis dan Isu-Isu Ketidakadilan Gender
Ada dua agenda utama dari ekofeminisme, pertama, pada tataran yang lebih konseptual dan filosofis, ekofeminisme ingin mendobrak cara pandang serta kerangka konseptual yang opresif, menindas, yaitu kerangka konseptual yang berlaku umum dalam era modern dengan didukung oleh politik dan ekonomi liberalisme dan ilmu pengetahuan modern yang Cartesian, dualistik, mekanistik, dan reduksionistis. Sebagai gantinya, ekofeminisme menawarkan cara pandang dan kerangka konseptual yang integratif, holistik, dan intersubyektif. Kedua, ekofeminisme juga dimaksudkan dan dikembangkan sebagai sebuah gerakan, sebagai aksi nyata di lapangan untuk mendobrak setiap institusi dan sistem sosial, politik, maupun ekonomi yang menindas pihak lain, khususnya penindasan gender dan spesies/alam.
Seperti yang dinyatakan tokoh ekofeminis terkenal India Vandana Shiva, bahwa menurut beliau, visi baru mengenai masyarakat non-eksploitatif, masyarakat non-patriarkhi yang menghormati dan bukan menghancurkan alam, ialah berasal dari gerakan akar rumput, baik yang ada di negara-negara sedang berkembang atau berkembang, untuk mempertahankan kehidupan. Di dalam gerakan semacam ini, Shiva menuturkan bahwa perempuanlah yang lebih banyak memahami bahwa perspektif subsistence merupakan satu-satunya jaminan akan keberlangsungan hidup, dan bukan integrasi ke dalam sistem pembangunan industri (Shiva & Mies, 2005: 353).
Konsep subsistence berasal dari bahasa Latin subsistere berarti :”bertahan, menghentikan, tetap melakukan, melawan, mundur ke belakang, mempertahankan keterbelakangan”. Saat ini, kata tersebut memiliki makna “memungkinkan untuk bertahan (dengan) kebutuhan dasar (minimum) dalam kehidupan” atau “untuk eksis dan mempertahankan diri sendiri dengan kekuatan sendiri”. Dengan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan, menjadi hal yang penting bahwa subsistence/produksi kehidupan ini dapat menunjukan jalan keluar dari berbagai kebuntuan terhadap sistem destruktif dari masyarakat industri, ekonomi pasar atau kapitalis-patriarkhi. Ciri-ciri mendasar dari  perspektif subsistensi ini adalah; bahwa tujuan dari kegiatan ekonomi bukanlah untuk sekedar menghasilkan timbunan komoditas dan uang (upah atau keuntungan), kegiatan ekonomi ini didasarkan pada relasi yang non-eksploitatif terhadap alam dan tanpa diskriminasi terhadap perempuan atau masyarakat lemah, ada partisipasi akar rumput, membutuhkan sebuah pendekatan terhadap pemecahan persoalan yang multidimensional atau sinergis, menuntut paradigma baru dari ilmu teknologi dan pengetahuan, menuntut terciptanya kembali integrasi kebudayaan dan kerja, menolak privatisasi dan komersialisasi milik publik (ibid: 327).
Menjaga keanekaragaman hayati adalah juga jawaban ekofeminisme menuju lingkungan yang lestari. Sebab keanekaragaman hayati adalah kategori relasional bukan reduksionis. Pelestarian keanekaragaman hayati oleh karenanya menunjukkan pelestarian relasi yang memunculkan keseimbangan dan keserasian. Sedangkan ilmu pengetahuan yang sifatnya lokal dari masyarakat setempat adalah keanekaragaman yang patut dihormati. Oleh karenanya, dalam setiap pengambilan kebijakan, masyarakat lokal terutama perempuan perlu difasilitasi untuk berpartisipasi sebagai subjek dalam proses pembuatan kebijakan terhadap lingkungan.
            Sebagaimana yang diyakini para ekofeminis, bahwa masyarakat akar rumput adalah stakeholder utama yang perlu dirangkul dalam upaya menjawab persoalan ekologis dan ketidaksetaraan gender, maka penyadaran masyarakat akan perspektif ekofeminis ini perlu digalakkan. Negara-negara sedang berkembang, terutama yang pemerintahannya sudah menerapkan paradigma neoliberal dalam agenda-agenda pembangunannya sangat sulit untuk diharapkan oleh sebab tekanan internasional sudah sedemikian rupa mempengaruhi setiap kebijakan. Maka diperlukan gerakan rakyat yang massif, dalam proses pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan penciptaan upaya pelestarian lingkungan dan upaya pengarusutamaan gender. NGO sebagai aktor bukan negara mempunyai kemampuan untuk ikut serta dalam isu global ini dan dengan jaringan lintas sektor maupun lintas negara, serta aksesnya yang bahkan lebih dalam atau lebih dekat dengan penduduk lokal dibanding pemerintah negara tersebut, sangat penting perannya untuk menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan program-program yang digagas oleh perspektif ekofeminisme. Terlebih lagi sangat bagus sekiranya NGO-NGO tersebut dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam program-program yang bertemakan lingkungan.

Penutup dan Kesimpulan
Ekofeminisme, selain mampu menerangkan latar belakang subordinasi perempuan, juga mampu menjelaskan latar belakang kerusakan lingkungan hidup global. Ekofeminisme melihat masalah relasi antarmanusia (termasuk perbedaan gender) maupun relasi manusia dengan alamnya adalah saling berkaitan satu sama lain, karena berawal dari pandangan umum dan ilmu pengetahuan yang mesti dikritisi bahkan didekonstruksi. Ekofeminisme mampu menemukan titik tolak bersama atau solusi yang tepat menggambarkan dan menjawab bahwa energi feminitas dan bukan maskulinitas, berpotensi untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Intisari dari gerakan ekofeminisme adalah menuntut terciptanya hak yang sama dalam mendapatkan akses terhadap sumber daya alam, dengan melihat keberlanjutan ekologi baik perempuan maupun laki-laki, melindungi hak-hak mereka yang lemah, menjaga harmoni dalam semua komunitas, menolak segala kekerasan dan dominasi yang mengancam perempuan, anak-anak, masyarakat lokal dan terhadap alam, serta menghargai keberagaman hayati dan kearifan lokal.
Perspektif ekofeminisme ini perlu dibawa dan diformulasikan ke dalam kebijakan politik lingkungan di negara kita. Diperlukan usaha dan upaya terus menerus untuk mentransformasikan pandangan-pandangan baru dengan bantuan semua pihak yang peduli akan lingkungan dan juga mempunyai kesadaran gender. Saya pikir, paradigma alternatif ini sangat membantu dalam hal menginspirasi alternatif-alternatif gerakan lingkungan, sosial maupun politik di negara manapun, terutamanya di negara-negara sedang berkembang, dimana sumber daya alamnya sangat potensial sekaligus kesadaran gendernya masih perlu ditingkatkan.


Daftar Pustaka

Amstrong, Susan J. dan Richard G. Botzler. 1993. Environmental Ethics: Divergens and  Convergens. New York: McGraw-Hill.
Boserup, E. 1984. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Yogyakarta. Gama Press.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Macey, D. 2000. The Penguin Dictionary of Critical Theory. London: Penguin Books.
Marks, Elaine dan Isabelle de Courtivron (Ed). 1981. New French Feminist: An Anthology. New York: Schoken Books.
Mosse, Julia Cleves. 2002. Gender dan Pembangunan. Jogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Plant, Judith. 1989. “Toward a New World: An Introduction”. Dlm Judith Plant (Ed). Healing the Wounds: The Promise of Ecofeminism. Philadelphia: New Society Publishers.
Plumwood, Val. 1993. The Mastery of Nature. London: Routledge.
Rahayu, Lies, W F. “Gender dalam Program Pembangunan Hutan”. Jurnal Hutan Rakyat Volume III Nomor 1 (Mei 2001).
Setiawan, Bonnie. 2000. Stop WTO: Dari Seattle sampai Bangkok. Jakarta: INFID.
Shiva, Vandhana. 1989. Staying Alive: Women, Ecology and Development. London: Zed Books.
______________. 1997. Bebas Dari Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
______________ dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press
“Pan Pacific Southeast Asia Women’s Association” Mei 2001 di Tonga, Pasifik Selatan. [http://www.ppseawa.org/Bulletin/01May/conference.html].
“The World Bank Annual Report 2003” Vol. 1.[http: www//worldbank.org]
“United Nations Human Development Report 2004” [http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2004/].



[1] Reduksionisme adalah suatu keyakinan dalam ilmu pengetahuan yang mereduksi kemampuan manusia, yang menolak kemungkinan adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang lain. Dasar ontologi kaum reduksionis adalah homogenitas, yakni hanya ada satu kebenaran, satu pendekatan dan satu cara dalam berpengetahuan.
[2] Revolusi Hijau adalah model pertanian yang dipelopori oleh pengusaha multinasional Barat yang mencoba melakukan homogenisasi. Program ini didukung oleh pusat-pusat penelitian seperti IRRI (International Rice Research Institute)di Filiphina, CIMMYT (International Maize and Wheat Improvement Center) di Meksiko dan dikelola oleh CGIAR (Consultative Group for International Agriculture Research).
[3] Keynes menyatakan bahwa yang penting bagi pertumbuhan kapitalisme adalah tenaga kerja penuh (full-employment),dan untuk itu diperlukan intervensi dari pemerintah dan bank sentral. Pamflet Keynes di tahun 1926yang berjudul “ The End of Laissez Faire” menyatakan ketidakpercayaannya terhadap kepentingan perorangan, yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan umum. Lihat Bonnie Setiawan, Stop WTO: Dari Seattle sampai Bangkok, Jakarta: INFID, 2000, hal 4.

Senin, 15 Agustus 2011

Masyarakat Islam, Politik Islam, dan Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia


Pengantar
            Secara demografis, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Namun potensi sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tersebut tidak lantas membuat negara Indonesia menjadi negara Islam, atau negara yang mengamalkan syariat Islam. Indonesia juga bukan termasuk negara sekuler murni. Dalam negara Islam, negara mengumumkan Islam sebagai karakter dalam pemerintahan dan hukum. Penggunaan hukum Islam tersebut, bukan hanya dalam kehidupan pribadi atau domestik, namun juga menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan luar negeri, seperti Saudi Arabia dan Pakistan.
Kebijakan luar negeri suatu negara -terutama bagi negara sedang berkembang- diambil dengan melihat beberapa faktor, baik faktor dari luar berupa tekanan struktur internasional, ataupun dari dalam; kondisi sosial, politik dan ekonomi dalam negeri serta faktor idiosinkretik pemimpinnya. Pembukaan Kedutaan Besar Palestina, menjadi anggota yang berpengaruh dalam OIC (Organisasi Konferensi Islam), serta kedekatan hubungan dengan negara-negara Timur Tengah merupakan beberapa karakteristik dan upaya Indonesia yang merepresentasikan kepentingan sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dalam tulisan ini hendak dikaji bagaimana hubungan dan peranan masyarakat (komunitas Muslim) dengan negara, apabila dilihat dari kebijakan luar negerinya. Terutama dilihat dari kebijakan negara dalam menangani isu-isu yang menyangkut Islam di Indonesia, dan bagaimana arah kebijakannya pada periode paska Orde Baru?

Islam dan Politik di Indonesia
Secara demografis, Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim sebanyak 203 juta dari keseluruhan populasi sekitar 235 juta jiwa pada tahun 2010, atau sebesar 87% (Badan Pusat Statistik, 2010). Namun potensi sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tersebut tidak lantas membuat negara Indonesia menjadi negara Islam, atau negara yang mengamalkan syariat Islam. Indonesia juga bukan merupakan negara sekuler murni, seperti definisi John L. Esposito mengenai tiga pembagian umum pemerintahan-pemerintahan dengan penduduk muslim. Dalam negara sekuler, pemisahan Islam dari negara dan membatasi pengamalan agama ke dalam kehidupan privat atau pribadi pemeluknya, misal di negara Turki. Dalam negara Islam, negara mengumumkan Islam sebagai karakter dalam pemerintahan dan hukum. Penggunaan hukum Islam tersebut, bukan hanya dalam kehidupan pribadi atau domestik, namun juga menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan luar negeri, seperti Saudi Arabia dan Pakistan. Dalam orientasi muslim, Islam dinyatakan sebagai agama negara dan shariah dipercayai sebagai sumber hukum. Maka dibutuhkan seorang pemimpin negara dari kalangan muslim dan negara mengontrol urusan-urusan keagamaan, negara yang mempraktekkan ini ialah Malaysia, Tunisia, Iran, Mesir, Algeria, dan Yordania [1].
Di Indonesia menurut Rabasa, pluralisme ajaran Islam mengalami penyebaran yang cukup bervariasi. Dari pemahaman ortodoks fundamentalisme di Aceh, sehingga bentuk yang lebih “berbudaya”, misalnya  Islam  kejawen di bagian Jawa. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, mayoritas masyarakat muslimnya berfaham tradisionalis, yang mengintegrasikan tradisi Jawa pre-islamic dan tradisi mistisisme sufi yang jauh dari bentuk dan semangat faham Wahabisme Timur Tengah yang cenderung keras dan tidak toleran [2]. Salah satu dari kalangan tradisionalis Islam adalah Nahdlatul Ulama. Organisasi ini didirikan tahun 1926 oleh sekelompok cendekiawan Islam tradisional dikenal sebagai kiai. Selama revolusi tahun 1945-1949, Nahdlatul Ulama bekerja sama dengan kaum nasionalis melawan Belanda dan lebih mendasarkan pergerakannya demi “ukhuwah wathaniyah”, melampaui “ukhuwah islamiyah”[3]. Kecenderungan lain adalah modernisme yang dapat dilihat dalam sebuah organisasi yang lebih tua, Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912. Organisasi yang didirikan sebagai geliat untuk memurnikan ajaran Islam di Indonesia dari praktek-praktek heterodoks, percampuran dari takhayul, dan kepercayaan animinsme dinamisme. Yang sebagian besar pengikutnya berasal dari kalangan penduduk perkotaan dan profesional.

Kebijakan Luar Negeri dan Politik Islam Dalam Negeri
Apabila menurut Rosenau, kebijakan luar negeri ialah usaha suatu negara melalui keseluruhan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari luar negara [4]. Menurutnya, kebijakan luar negeri ini juga bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup negara tersebut. Sedangkan Hans J. Morgenthau lebih melihat kebijakan luar negeri sebagai “action theory”, aktivitas suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Secara umum, kebijakan tersebut mencakup suatu perangkat dan formula nilai, sikap, arah serta tujuan untuk mempertahankan, menyelamatkan, dan mensukseskan kepentingan nasional di dalam pergaulan internasional [5]. Untuk mengetahui dasar luar Indonesia, tidak dapat dipisahkan dengan faktor politik dalam negerinya [6]. Apabila melihat kasus Indonesia, apakah faktor Islam mempengaruhi proses perumusan kebijakan luar negeri, sudah banyak diperdebatkan. Dalam  bukunya “Indonesia and The Muslim World”, Anak Agung Banyu Perwita menjelaskan perdebatan para ahli mengenai ini. Suryadinata contohnya, menjelaskan bahwa Islam bukanlah faktor yang menentukan dalam perumusan kebijakan luar negeri, terutama pada era Suharto. Namun, Sihbudi menjelaskan bahwa kedekaan Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah dan bagaimana Indonesia menyikapi isu-isu disana, ialah tidak bisa dipisahkan dari pengaruh “faktor Islam”. Azyumardi Azra, juga menjelaskan tentang peranan Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia, bahwa secara keseluruhan, pemerintah Indonesia menempatkan faktor Islam ini dalam intensitas yang rendah. Namun dalam beberapa kasus, penempatan faktor Islam ini menjadi hal yang serius dipertimbangkan pemerintah [7].
Dalam melihat hubungan antara Islam dalam kebijakan luar negeri Indonesia, kita perlu melihat corak dan karakteristiknya dari beberapa periode; yaitu periode Orde Lama, Orde Baru, dan Paska Orde Baru. Periode awal selepas kemerdekaan ialah periode yang paling menentukan bagi Indonesia, sebab dari sana diketahui tonggak awal pendirian negara Indonesia menyangkut beberapa prinsip dasar yang mengatur mengenai ketatanegaraan dan hidup bernegara. Saat itu ialah masa Perang Dingin dimana dunia bipolar, perseteruan antara blok Kapitalis (AS) dan Komunis (Uni Soviet) membuat Indonesia -yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan dari kolonialisme-, mempunyai pandangan ideal mengenai arah dan prinsip dasar bagaimana memposisikan diri sebagai sebuah negara dalam percaturan internasional. Pada tahun 1948, Hatta dengan slogannya, “mendayung di antara dua karang” mengumumkan politik luar negeri “bebas-aktif”. Politik luar negeri “bebas-aktif” tersebut berarti, bebas untuk tidak memihak kepada dua blok besar dunia, bahawa Indonesia mesti bersendiri dan independen dalam urusan luar negeri. Komponen aktif berarti bahwa Indonesia mesti memainkan peranan penting dalam hubungan antarabangsa, bukan hanya pasif menanggapi tekanan-tekanan dari luar. Meskipun, dalam implementasinya, kabinet yang saat itu dipimpin Muhammad Natsir, dan didirikan dibawah partai Islam Masyumi menyerukan semangat anti komunisnya dengan menandatangani Mutual Security Act dengan Amerika Serikat pada tahun 1952 untuk mendapatkan bantuan ekonomi, secara langsung mencederai semangat politik luar negeri “bebas-aktif”[8]. Namun, pada tahun 1959 Sukarno memperkenalkan Guided Democracy (Demokrasi Terpimpin) yang mesti dijalankan sesuai kehendaknya sebagai presiden saat itu, dan sesuai dengan semangat anti kolonial yang anti barat. Kebijakan luar Indonesia kemudian diwujudkan dalam pembentukan Non-Allignment Movement (NAM) yang sosialis, anti kolonialis, tidak ada afiliasi dengan blok-blok politik, serta mempunyai kepemimpinan di negara-negara Dunia Ketiga [9].  Pada periode Demokrasi terpimpin, Sukarno berusaha menggabungkan faham nasionalisme, agama dan komunisme (NASAKOM) ke dalam wilayah politik luar negeri. Sukarno mengumumkan bahwa imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme akan menghancurkan semangat revolusi, sehingga ideologi nasionalisme akan mengikis ini. Keadaan sosial masyarakat yang mayoritas Islam dan usaha mengakomodir peran partai Islam dalam perpolitikan negara, mendorong Sukarno untuk juga mengambil perhatian kepada ideologi agama (Islam). Dan untuk serta menjaga hubungan baik dengan negara Cina dan Uni Soviet, Sukarno perlu mengakomodir juga ideologi komunis.
Namun, faktor Islam tidak secara langsung memberi pengaruh dalam perumusan kebijakan luar negeri Sukarno, misalnya terlihat dalam kasus Irian barat pada 1962, konfrontasi dengan negara berpenduduk muslim lain yaitu Malaysia, dan pembentukan poros Jakarta-PhnomPenh-Pyongyang-Beijing sebagai “New Emerging Forces” (NEFOS) [10]. Penerapan asas dasar luar Indonesia “bebas-aktif” pun mengalami distorsi sebab ideosinkretisme Sukarno lebih memihak ke kiri (komunis, sosialis) yang bagi golongan agamis terutama Islam, bertentangan dengan agama, sebab faham dan ideologi kiri tersebut dipersepsikan anti-Tuhan.
Jatuhnya pemerintahan Sukarno adalah awal terbentuknya Orde Baru (New Order).  Suharto yang dari golongan militer, menggantikan Sukarno pada tahun 1967 dan berhadapan dengan kondisi perekonomian bangsa yang sangat buruk. Kebijakan luar negeri “bebas-aktif” Indonesia kemudian ditinjau kembali dan dikembalikan kepada pancasila sebagai asas tungga sebagai pembendung lajunya komunisme, dan PKI dibubarkan pada dan coba dilaksanakan melalui membangun kekuatan internal setelah krisis ekonomi pada masa-masa berakhirnya kepemimpinan Sukarno. Dalam usaha membangun perekonomian ini, Suharto menjalin hubungan baik dengan Barat dengan ideologi kapitalismenya dengan menelurkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967, dan membuka diri terhadap bantuan dan hutang luar negeri. Suharto juga melihat perlunya menjaga hubungan baik dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara agar kepentingan nasional Indonesia untuk meraih stabilitas politik dalam negeri dan pembangunan ekonomi tidak terganggu [11].  Untuk usaha itulah, sehingga pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Indonesia bersama Malaysia, Philiphina, Singapura dan Thailand mendirikan ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) untuk kepentingan perdamaian, keamanan, dan pembangunan di kawasan. Dalam hubungan antara Islam dan kebijakan luar negeri, Suharto pernah melakukan beberapa hal penting. Indonesia pernah mengambil bagian dalam solidaritas dan aksi internasional mengutuk Israel atas pembakaran masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Event inilah yang membidani berdirinya Organisasi Konferensi Islam di Morocco pada 1970. Namun, Indonesia tidak mengirimkan delegasinya dalam pertemuan pertama dan kedua, sebab ditengarai akan merusak hubungan Indonesia dengan negara-negara barat [12]. Dari sini bisa dilihat bahawa dalam kepemimpinan Suharto ada beberapa karakteristik pelaksanaan kebijakan luar negerinya: sentimen anti komunis yang kuat, komitmen kepada stabilitas dan pembangunan ekonomi, dan pragmatic international outlook  [13]. 

Kebijakan Luar Negeri Indonesia paska Suharto
Setelah de-politisasi dan de-ideologisasi Islam diterapkan pada masa orde baru dilaksanakan untuk memperlemah potensi politik umat Islam [14], jatuhnya Suharto dan mulainya era reformasi pada tahun 1998 membuka kran-kran liberalisasi politik dan peluang-peluang baru untuk politik Islam memasuki arena perpolitikan negara [15]. Sehingga pada masa itu, Juni 1999, muncul gerakan Islam yang mempunyai tipikal pergerakan; baik secara struktural maupun kultural. Secara struktural, muncul partai-partai baru yang mengadopsi ideologi Islam yang mengumumkan hubungan antara ideologi, negara, dan masyarakat, ikut berpartisipasi dalam pemilihan raya hingga mencapai 11 partai yang menjadikan Islam sebagai ideologi dasar partai [16]. Pada era selepas orde baru (dan sebagian sudah berdiri sejak era orde Baru)  tersebut, mulai muncul juga beberapa gerakan kultural iaitu ormas –ormas dan kelompok muslim radikal di Indonesia; seperti Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljama’ah (FKWAJ), Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia, Jama’ah al Ikhwan al-Muslimin, Hizbut Tahrir, Komite Indonesia untuk Solidaritas Umat Islam (KISDI), Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), dan Hizbullah [17].  Islam dan demokrasi selepas orde Baru menjadi wacana dan sekaligus faktor yang sangat menentukan kondisi perpolitikan dalam negeri .

Pada saat Presiden Abdurrahman Wahid mencoba membina hubungan perdagangan dengan Israel, banyak kelompok muslim yang melakukan penentangan terhadap usaha itu, oleh sebab simpati kepada muslim Palestina. Sedangkan tujuan Abdurahman Wahid ialah untuk meningkatkan kepercayaan domestik dan internasional dalam proses pemulihan ekonomi. Dalam kasus ini,  suara islam menjadi mekanisme kontrol terhadap kebijakan, bukan menjadi motivasi pembuat kebijakan.
Peristiwa 11 September 2001 cukup menghentak dunia dan terutama dunia muslim oleh sebab pengaitan definisi terorisme tersebut dengan Islam. Pernyataan untuk perang melawan terorisme (Global War on Terror/GWOT) ialah sebagai hasil dari agresifitas Amerika Syarikat yang segera memecah dunia menjadi dua, negara yang mendukung aksi terorisme dan negara yang menyatakan perang terhadap terorisme. Pada awalnya, kebanyakan negara di kawasan Asia-Pasifik, khususnya Indonesia, melihat bahwa tragedi 11 September lebih merupakan persoalan AS ketimbang sebuah persoalan global. Meskipun seluruh dunia, termasuk negara-negara Asia Tenggara menyatakan rasa simpati terhadap tragedi yang menimpa AS, pada umumnya tidak terlalu yakin bahwa tragedi serupa dapat juga terjadi di kawasan. Hal itu antara lain terlihat dari sikap skeptis yang ditunjukkan sebagian kalangan terhadap niat dan seruan AS dalam memerangi terorisme pada tataran global, termasuk di Asia Tenggara. Sikap “menyangkal” (denial) ini antara lain terlihat di Indonesia, Thailand, dan pada tingkat yang lebih rendah, di Malaysia.
Namun, tragedi 12 Oktober 2002 di Bali telah menyadarkan negara-negara di kawasan bahwa ancaman terorisme dapat terjadi dimana saja, dan pada waktu dan metoda yang tidak dapat diduga dengan mudah.  Dalam kasus di Indonesia, sikap negara atau pemerintah sangat dilematik dalam menyikapi terorisme yang berbaju fundamentalisme Islam ini. Presiden Megawati Sukarno Putri, yang terpilih dari partai PDI-P, partai sekuler-nasionalis, pada awalnya tidak populer dan tidak mendapatkan dukungan dari kalangan  ormas-ormas ataupun organisasi Islam. Namun, semangat reformasi yang menghasilkan kondisi yang kompetitif dan majemuk, membuat Megawati mesti juga memperhitungkan suara dari kelompok-kelompok Islam [19]. Tekanan-tekanan Amerika Syarikat membuat Megawati mengeluarkan pernyataan tetang pengutukan aksi terorisme dan juga mendukung dalam aksi memerangi terorisme. Namun, Megawati pun memilih politik jalan tengah dalam kasus “perang melawan terorisme”, terlihat dari kritiknya terhadap Amerika Syarikat yang memutuskan untuk melakukan invasi militer ke Afganishtan dan Iraq. Dalam pidatonya, Megawati mengungkapkan tentang kedamaian sebagai sumber ajaran Islam, sehingga menolak segala tindakan terorisme dan kekerasan.

Kesimpulan
Kapasitas Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ke tiga dunia, dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dan luas wilayah terbesar di rantau Asia Tenggara, dapat menjadi aset penting untuk kembali mengukuhkan peran Indonesia di kawasan Asia Tenggara pada khususnya dan dunia internasional pada umumnya. Namun, keterbatasan kapasitas Indonesia tidak hanya berhadapan dengan realitas banyaknya prioritas yang mesti dicapai dari dalam negeri tetapi pada gilirannya juga akan berhadapan dengan realitas kepentingan-kepentingan negara atau aktor internasional lain yang belum tentu sejalan dengan kepentingan kita. Dengan demikian visi yang dilontarkan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa “sejuta kawan dan tak ada musuh” kiranya perlu dikritisi mengingat kecenderungan sikap pragmatisme dan egoistik semua negara dalam memenuhi kepentingan nasional masing-masing.
Terlepas dari berbagai perdebatan dari beberapa kalangan komunitas Islam mengenai gerakan-gerakan struktural yang masuk dalam arena politik dan gerakan-gerakan kultural di masyarakat yang menjadi civil society, sistem politik Indonesia yang semakin demokratis paska Orde Baru menuntut partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian pemerintah tidak bisa memonopoli keseluruhan proses pengambilan keputusan termasuk dalam hal kebijakan luar negeri, sebab negara (dalam hal ini pemerintah) tidak hanya menjadi aktor utama. Sebagai konsekuensi masyarakat demokratis maka partisipasi dan aspirasi masyarakat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas tentunya menjadi semakin kuat. Jika melihat kondisi di Indonesia, ormas-ormas Islam dengan massa terbesar ialah Muhammadiyah dan NU. Apabila kedua ormas ini terus-menerus merespon secara aktif segala perubahan dan kondisi sosial politik di Indonesia, bukan tidak mungkin apabila suara mereka tidak hanya berfungsi sebagai “control mechanism” bagi pemerintah, namun juga sebagai “motivator and inspirator” bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang mengakomodir suara umat Islam dari dalam negeri agar didengar oleh negara luar, terutama melalui kebijakan luar negeri. Paling tidak, penyatuan dan penguatan suara umat Islam lebih penting daripada hanya terkotak-kotakkan dalam berbagai kepentingan-kepentingan pragmatis. Sehingga asumsi Presiden SBY mengenai posisi Indonesia yang tidak hanya “mendayung diantara kedua karang”, seperti pidato Hatta, namun “mengarungi samudera yang bergolak”, ialah juga idealnya dengan tujuan untuk menemukan harapan dan dermaga baru yang lebih baik, sebagai negara merdeka yang berkuasa menentukan masa depannya sendiri.

[tulisan ini ialah salah satu chapter buku Kado Muktamar 1 Abad Muhammadiyah: Bunga Rampai Pemikiran Anak Didik Muhammadiyah (2010), Yogyakarta: JejakKataKita]

Referensi
[1]Esposito, John. L. (1987), Islam In Asia: Religion, Politics, And Society, London: Oxford University Press, hlm. 24.

[2]Rabasa, A. M. (2003), Political Islam in Southeast Asia: Moderates, Radicals, and Terrorists, Oxford University Press, New York, hlm. 14-16.

[3]Baso, Ahmad (2006), NU Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga.

[4]Rosenau, James N., Gavin Boyd, Kenneth W Thompson (1976), World Politics: An Introduction, New York: The Free Press, hlm. 27

[5]Morgenthau,  Hans, J. (1990), (ed.,) Politik Antar-Bangsa , Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, hlm. 225

[6]Anwar, Dewi F. (1998), ‘‘Indonesian Domestic Priorities Define National Security’’ dalam  Muttiah Alagappa (pnyt.), Asian Security Practice, Stanford, CA: Stanford University Press.

[7]Anak Agung Banyu Perwita (2007), Indonesia and The Muslim World: Islam and Secularism in the Foreign Policy of Soeharto and Beyond, Copenhagen: NIAS Press, hlm. 2

[8]Anak Agung Banyu Perwita (2007), Indonesia and The Muslim World, ibid., hlm. 9.

[9] Burton, J. W (1965), International Relations: A General Theory, Cambridge:Cambridge University Press), hlm. 195-205

[10]Sukma, Rizal (1995), “The Evolution of Indonesia’s Foreign Policy: An Indonesia n View”, Asean Survey, Vol. 35, No.3 (Mar.,), hlm. 310.

[11]Fortuna Anwar, Dewi, F. (2009), “Indonesia’s Role In The Longterm Prospects of ASEAN” dlm Terence Chong (pnyt.), Globalization and Its  Counter-Forces in Southeast Asia, Singapore: ISEAS, hlm. 79.

[12]Anak Agung Banyu Perwita (2007), Indonesia and The Muslim World: Islam and Secularism in the Foreign Policy of Soeharto and Beyond, Copenhagen: NIAS Press, hlm. 15.

[13]Anwar, Dewi, F. (1994), Indonesia In ASEAN: Foreign Policy and Regionalism, Singapore: ISEAS, hlm. 35.

[14] Proyek depolitisasi Islam pada era Suharto ini berdasarkan pada asumsi bahwa Islam yang kuat secara politik akan menghambat modernisasi sebagai ciri pembangunanisme era Suharto, dicurigai akan mengancam ideologi Pancasila sebagai asas tunggal, sehingga kekuatan politik Islam mesti dibonsai dan hanya direpresentasikan menjadi satu partai saja iaitu PPP ( Partai Persatuan Pembangunan).

[15]Joo, Han Sung, (ed.,) (1999), Changing Values in Asia: Their Impact on Governance and Development, Tokyo: Japan center for International Change.

[16] Kuntowijoyo (2000), “Peta Politik bagi Umat Islam”, dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed.), Mengapa Partai Islam Kalah?Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, hlm. 89. Namun, Arskal Salim dalam definisinya mengenai Partai Islam, menyatakan ada 20 partai Islam yang mengikuti Pemilu 1999, termasuk PKB dan PAN. Lihat Arskal Salim, Partai Islam dan Relasi Agama Negara, hasil penelitian Puslit IAIN Jakarta, hlm. 8.

[17]Khamami Zada (2002), Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, hlm. 77; Anak Agung Banyu Perwita (2007), Indonesia and The Muslim World, Copenhagen: NIAS Press, hlm. 158.

[18]Sukma, Rizal, “Indonesia and The War on Terror in Southeast Asia”, dlm Anak Agung Banyu Perwita (2007) Indonesia and The Muslim World, Copenhagen: NIAS Press, hlm. 160.